Pengendalian Penyakit Kotoran Putih (White Feces Syndrome)

Teknik Pengendalian Penyakit Kotoran Putih  (White Feces Syndrome)
Pada Budidaya Udang Vaname di tambak
Oleh
Supito; A Gunarso dan I Rizkiyanti
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Abstrak
Serangan penyakit yang dikenal dengan kotoran putih pada budidaya udang vaname saat ini telah menurunkan produktivitas udang vaname. Studi ekplorasi  pada beberapa tambak yang terinfeksi untuk mengetahui penyebab dan teknik pengendalian dan pengobatan telah  dilakukan dan dapat mencegah infeksi penyakit kotoran putih.
Metoda ekplorasi dilakukan dengan mengamati kualitas air meliputi kandungan bahan organik (TOM); total bakteri dan vibrio; kestabilan plankton, serta identifikasi jenis bakteri pada udang yang terserang penyakit. Tindakan pengendalian dilakukan dengan perbaikan kualitas air dengan mengendalikan bahan organik, menjaga kestabilan plankton dan aplikasi probiotik dengan pengaturan keseimbangan C:N:P rasio. Teknik pemuasaan (fasting) dan aplikasi feed additive berupa antibiotik alami dari ekstrak bawang putih (alicyn) dan vitamin untuk meningkatkan efektivitas bahan masuk pada pencernaan udang.
     Hasil kajian menunjukkan bahwa udang yang terserang penyakit berak putih pada intestinumnya terdapat jenis bakteri Vibrio alginolyticus, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio vulnificus. Media air tambak mengandung dominasi bakteri vibiro sebesar 12% dari total bakteri dan kandungan bahan organik (TOM) lebih dari 250 ppm. Teknik pemuasaan, penambahan alicyn dan vitamin, pengendalian dominasi vibrio kurang dari 10% dengan aplikasi probiotik serta pembuangan lumpur dasar tambak serta pergantian air untuk menurunkan kandungan bahan organik mampu untuk mencegah serangan penyakit tersebut.  Produksi tambak masih dapat dipertahankan pada tingkat kelangsungan hidup > 70%  dengan laju rataan pertumbuhan harian (ADG) sebesar  0,11-0,25  g/hari.

Kata kunci : pencegahan, penyakit, kotoran putih


I.          Pendahuluan
1.1.        Latar belakang
Perkembangan budidaya udang vaname hinggga saat ini terus meningkat baik jumlah luas kawasan tambak pembesaran, maupun penerapan teknologi budidaya dalam rangka meningkatkan produktivitas. Penerapan teknologi yang kurang tepat seperti penambahan padat penebaran yang tidak didukung dengan sarana penunjang yang memadai untuk menciptakan lingkungan budidaya yang optimal untuk pemeliharaan udang vaname, dapat menyebabkan resiko kegagalan yang tinggi. Salah satu permasalahan yang saat ini terjadi adalah serangan penyakit kotoran putih atau dikenal dengan berak putih atau white feces syndrome atau WFS  (flegel  et.al, 2014). Secara visual pada udang yang terserang penyakit ini akan terlihat kotoran udang berwarna putih memanjang dan mengapung pada permukaan air, eksoskeleton nampak lembek dan ditemukan infeksi protozoa sehingga menyebabkan insang gelap (Limsuwan, 2010) dan udang menjadi keropos.
Udang yang terserang penyakit berak putih menyebabkan nafsu makan menurun serta laju pertumbuhan yang menurun sangat drastis. Kematian udang terjadi secara bertahap sehingga menyebabkan kelangsungan hidup udang rendah. Kondisi udang yang terserang berak putih semakin lama semakin keropos sehingga bobot rataan udang menurun. Kondisi ini menyebabkan kualitas udang menurun sehingga harga jual juga menurun. Secara ekonomis, serangan penyakit kotoran putih akhir-akhir ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar karena konversi pakan yang tinggi sehingga menyebabkan usaha budidaya udang vaname tidak menguntungkan.
Oleh karena itu perlu dilakukan studi eksplorasi untuk mengkaji fenomena munculnya serangan penyakit kotoran putih serta perekayasaan teknologi untuk  pengendaliannya. Kegiatan studi eksplorasi dilakukan pada tambak-tambak yang terserang penyakit kotoran putih dengan mengamati kualitas lingkungan media pemeliharaan udang. Tindakan pengendalian dilakukan dengan teknik pencegahan dan pengobatan dengan menggunakan bahan yang direkomendasikan untuk menekan infeksi penyakit kotoran putih.
1.2 Maksud dan tujuan
            Tujuan dari kegiatan  ini adalah untuk mengetahui fenomena terjadinya serangan  penyakit kotoran berak putih pada tambak udang vaname, sehingga dapat  dilakukan tindakan pengendalian.
II.         Metoda
2.1 Alat dan bahan
            Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan studi eksplorasi adalah peralatan kualitas air meliputi (pH meter, disolved oxygem (DO) meter); alat pengamatan densitas dan dominasi plankton (planktonet dan mikroskop), alat dan bahan analisa total bakteri dan total vibrio sp  dengan metoda ALT (Angka Lempeng Total) serta identifikasi jenis bakteri Vibrio yang ditemukan. Adapun bahan yang digunakan untuk tindakan pencegahan dan pengobatan adalah ekstrak bawang putih, probiotik dan multivitamin.
2.2. Metodologi
            Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan tambak di Jepara, Rembang,Tuban dan Sumbawa. Perlakuan pengendalian penyakit kotoran putih dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara (Blok F) dengan jumlah 6 petak.  Waktu pelaksanaan mulai Januari - September 2015.
2.2.1.  Studi eksplorasi
Studi ekplorasi dilakukan pada tambak yang terindikasi penyakit kotoran putih dimana secara visual ditunjukkan adanya kotoran yang mengambang pada permukaan air.  Pengambilan sampel udang yang sakit  dan pengamatan kualitas lingkungan yang meliputi kandungan total bakteri dan vibrio sp, jenis bakteri vibrio, warna air, dominasi plankton dan kandungan bahan organik total (TOM).
2.2.2. Pengendalian penyakit kotoran putih.
Kegiatan pengendalian  pada tambak yang terserang penyakit kotoran  putih dilakukan pada tambak BBPBAP Jepara blok F sebanyak 2 petak yang terserang penyakit. Adapun perlakuan yang dilakukan, melalui perbaikan kualitas air dan  menjaga kestabilannya selama pemeliharaan  adalah sebagai berikut:
a.     Pengelolaan air.
Pengelolaan air pada tambak udang yang telah terserang penyakit kotoran putih dilakukan untuk menjaga kestabilan plankton. Dominasi plankton selama pemeliharaan diarahkan pada plankton jenis Chloropiceae sp sehingga warna air cenderung kehijauan. Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk nitrogen dan posfat (Urea dan TSP dengan perbandingan 5:1) setiap 4 - 7 hari dengan dosis 1-2 ppm hingga air berwarna hijau kecoklatan. Aplikasi pupuk posfat dihentikan bila kandungan posfat (PO4) lebih dari 0,25 ppm. Pemberian pupuk dihentikan setelah air berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 cm (Supito et.al., 2014)
Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom air bisa bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang.  Penyiponan kotoran yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran (total bahan organik).
Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan. Setelah dilakukan penambahan atau pergantian air dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk nitrogen (Urea/ZA) untuk meningkatkan nilai N/P rasio dengan dosis 1 ppm. Pemupukan susulan ini dilakukan tiap 3-4 hari hingga warna air kehijauan atau hijau kecoklatan dangan dominasi plankton jenis Chloropiceae.

b.     Aplikasi probiotik.
Aplikasi probiotik dilakukan pada media pemeliharaan dan pada udang melalui aplikasi pakan. Aplikasi  probiotik pada media pemeliharaan dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik sehingga tidak terbentuk senyawa beracun seperti amonia dan nitrit. Aplikasi  bakteri probiotik juga untuk mendesak dominasi bakteri vibrio sp yang cenderung bersifat patogen. Aplikasi probiotik  mulai dilakukan 7 hari, setelah sterilisasi,  selanjutnya aplikasi secara rutin  dilakukan 1 - 2 kali tiap minggu.
Cara yang paling sederhana dan mudah untuk menghitung penambahan C-organik dari protein pakan, dengan cara sederhana suplementasi karbohidrat dapat dihitung sbb :

                   % protein pakan x 0.16 x 50% x   ___4_____ 
                                                                        50% x 40%

Keterangan:
4 (C/N rasio dalam jaringan mikrobial),
50% (Kandungan C) dalam CHO,
 40% (efisiensi sintesa protein mikrobial).

Dengan demikian, semakin tinggi kandungan protein pakan maka keseimbangan C/N rasio akan semakain rendah, sehingga akan semakin banyak dibutuhkan karbohidrat sebagai sumber C-organik. Pakan udang dengan kandungan protein sebesar 35 %

C/N rasio pakan
(kandungan protein 35%)   dihitung dari : _____50%___ = 8.93 ~ 9
                                                                         
                                   0.16 x 0.35

Nilai CN ratio 8-9  masih sangat rendah, oleh karena itu masih  membutuhkan penambahan sumber karbohidrat. Idiealnya untuk menumbuhkan bioflok optimal diperlukan nilai C/N ratio 16-20. C/N rasio setelah penambahan karbohidrat dapat dihitung sebagai berikut:
Untuk mendapatkan nilai C/N ratio 20 diperlukan pakan dengan kandungan protein sbb:
50% : (0,16 x @) = 20.     @ = 15%. (kandungan protein pakan)     
Net Pc = _Protein pakan_awal_        Net Pc : Protein setelah penambahan CHO
                1  +  F CHO                      F CHO  :  % penambahan CHO terhadap pakan

Untuk mendapatkan nilai C/N ratio 20. Maka diperlukan penambahan sumber carbon (CHO) dengan penggunaan pakan dengan kandungan protein 36 %  adalah sebagai berikut:
15 = 36 / (1 + % carbon)   
 15 x (1 + carbon) =36
15 x CHO = 36-15
CHO = 21/20
CHO = 1,1 %. Dari total    pakan yang diberikan per hari.
Dalam satu hari tambak udang menggunakan pakan 100 kg dengan kadungan protein  36% maka diperlukan penambahan karbon (molase) 1,1 %  x 100 kg =  1,1 kg/lt  per hari.
Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan, salah satu jenis sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan pada awal pembentukan, selanjutnya bisa digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air sebagai indikator adalah nilai pH air.

Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan metoda aktivasi bakteri. Adapaun caranya adalah  dengan menebar langsung probiotik yang telah di aktivasi. Cara aktivasi probiotik adalah dengan persiapan wadah aktivasi berupa ember (volume 20 L) dan diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Tambahkan  sumber karbon (molase) sekitar 250 cc dan diaduk merata. Selanjutnya diukur nilai pH air dalam wadah aktivasi. Bila kurang dari 6 tambahkan kapur sekitar 50 - 100 g agar nilai pH naik menjadi 7. Sumber nitrogen untuk pertumbuhan probiotik dilakukan dengan penambahkan pupuk Urea/ZA dosis 100 g dan aduk merata. Penambahan probiotik sekitar 100 g atau 100 mL dan aduk secara merata. Biarkan spora bakteri berkembang selama 0,5 - 1 jam kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014).

 Aplikasi probiotik dilakukan juga pada udang dengan tujuan untuk memperbaiki pencernaan melalui pengkayaan pada pakan. Hal ini udang yang terserang  penyakit kotoran putih ditemukan adanya bakteri vibrio sp pada usus udang.  Aplikasi probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri vibrio pada usus. Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan  mencapur 3-5 g probiotik; 10 cc molase, 3 g ekstrak bawang putih dan 3 cc multivitmin per kg pakan. Bahan-bahan tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya. Campuran bahan tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan dikeringkan dengan cara diangin anginkan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1 jam sebelum pemberian.
  
c.            Manajemen pemberian pakan
Udang memiliki cara makan dengan dikerikiti sedikit demi sedikit yang berbeda dengan cara makan ikan yang langsung di telan setiap butiran pakan. Pengkayaan pakan pelet dengan beberapa bahan tambahan (feed additive) diduga akan banyak yang lepas dan larut dalam air bila butiran pakan tersebut terendam dalam air. Kondisi ini terutama pada bahan tambahan  yang mudah larut dalam air seperti vitamin C. Oleh karena itu diperlukan teknik pemberian pakan pada udang yang tepat dengan memperhatikan tingkah laku kebiasaan makan udang. Hal ini dilakukan agar  laju konsumsi udang tinggi sehingga pakan yang diberikan cepat habis dimakan, salah satu tekniknya adalah dengan pemuasaan.
Pemuasaan  bertujuan agar udang lapar, karena pada saat kondisi lapar nafsu makan udang akan meningkat, sehingga laju konsumsi pakan juga meningkat.  Pemuasaan dilakukan pada malam hingga  pagi hari. Pemberian pakan yang telah diperkaya dengan feed additive dilakukan pada saat kondisi lingkungan baik yaitu pada siang hari dengan demikian laju konsumsi udang akan meningkat.
Jumlah dosis pakan yang diperkaya dikurangi hingga 50% dari jumlahnya. Hal ini dilakukan agar dosis feed additive lebih tinggi. Alasan lain adalah agar pakan tidak terlalu lama terendam air atau pakan cepat habis dikonsumsi udang. Dengan cara tersebut  pakan yang telah diperkaya dengan feed additivie bisa lebih efektif masuk pada pencernaan udang. Selanjutnya sisa dosis pakan diberikan 1-2 jam setelah pemberian pakan yang diperkaya dengan feed additive habis yang diamati melalui kontrol anco.
III.       Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil.
3.1.1. Produksi.
            Hasil kegiatan pemeliharaan udang vaname adalah seperti Tabel 1.
Tabel 1. Produksi  tambak uang vaname
Uraian
KODE PETAK / TAMBAK
F1
F2
F3
F4
F5
F6
produksi  (kg)
4.388
4.225
4.499
2.467
4.313
3.850
Bobot rataan (g)
15,01
14,94
16,54
9,94
14,06
13,01
size (ekor/kg)
67
67
60
101
71
77
SR (%)
91%
88%
85%
78%
96%
92%
Pakan
6450
5950
6800
3750
6250
5500
FCR
1,47
1,41
1,44
1,52
1,45
1,51
Catatan: petak F4 dan F6 terserang WFS pada umur 62 hari dan 75 hari.
Pada kajian tersebut terjadi serangan penyakit kotoran putih pada petak F4 pada umur pemeliharaan hari ke 62 dan pada petak F6 terjadi pada hari ke 75. Secara visual  serangan peyakit berak putih di tandai dengan terlihatnya kotoran putih mengambang di permukaan air, nafsu makan udang menurun dengan drastis, warna air cenderung berubah ke warna hijau gelap. 
            Serangan penyakit kotoran  putih  dapat  menghambat laju pertumbuhan sehingga produktivitas juga menurun dibanding kondisi tambak yang normal. Dari 6 petak tambak, petak F4 dan F6 yang terserang menghasilkan produktivitas lebih rendah dari petak lain.  Namun demikian dengan perlakukan pengendalian melalui perbaikan lingkungan  dan  melalui pengkayaan pakan masih dapat dipertahankan sehingga masih menghasilkan kelangsungan hidup lebih dari 78 % pada petak F4 dan 92% pada petak F6.
3.1.2. Pertumbuhan udang.
            Pertumbuhan mutlak udang vaname yang terserang  kotoran putih cenderung stagnan. Hal ini disebabkan juga oleh nafsu makan dan laju konsumsi yang menurun. Secara visual usus udang terlihat terisi penuh dengan warna merah bahkan keputihan. Data pertumbuhan udang  mutlak dapat dilihat pada Tabel 2. 
Tabel 2. Pertumbuhan multak
DOC
KODE PETAK / TAMBAK
F1
F2
F3
F4
F5
F6
51
5,65
6,36
6,11
5,33
6,32
4,97
58
7,5
7,51
8,24
7,05
7,95
6,82
65
9,71
9,78
10,02
7,97
9,16
8,12
72
10,77
11,04
11,41
8,89
10,42
10,08
79
12,42
13,39
13,15
9,2
12,59
13,1
86
14,05
14,26
14,44
9,5
14
13,61
93
15,01
14,94
16,54
9,94
14,06
13,7

Pengamatan laju komsumsi pakan di anco juga menurun dengan drastis. Perlakukan pengurangan pakan bahkan pemuasaan perlu dilakukan agar tidak banyak sisa pakan yang dapat menyebabkan lingkungan tambak menurun.  Pengurangan pakan pada saat laju komsumsi pakan turun dapat dikurangi hingga  50%. Pengamatan laju konsumsi pakan melalui kontrol anco harus dilakukan dengan cermat. Pada saat laju konsumsi pakan meningkat, maka jumlah pakan perlu tambahkan hingga kondisi laju konsumsi pakan normal. Dengan perlakukan ini dari kajian yang dilakukan masih dapat menekan FCR pakan sekitar 1,5.
            Laju pertumbuhan harian (ADG)  udang yang normal  rata-rata  0,18-0,22 g/hari. Sedangkan laju pertumbuhan harian udang yang terserang penyakit kotoran putih rata-rata 0,11 g/hari. Kondisi yang parah di tandai dengan jumlah kotoran putih yang mengambang cukup banyak dan pertumbuhan yang stagnan. Beberapa kasus dilaporkan serangan penyakit kotoran putih ini menyebabkan udang keropos dan bahkan pertumbuhan mutlak menurun.  Sebagai dampak udang yang kropos, maka bobot tubuh menurun, sehingga harga pasar akan jatuh.

Gambar 1. Grafik rata-rata  pertumbuhan harian (ADG) dengan 0,1 g/hari.

3.1.    Kajian  permasalahan serangan penyakit berak putih.
 Berdasarkan studi eksplorasi dengan pengamatan secara langsung di lapangan, menunjukkan bahwa gejala klisnis serangan  penyakit berak putih pada kondisi lingkungan adalah sebagai berikut:
3.1.1     Kandungan bakteri
 Hasil pemeriksaan secara laboratorium menunjukkan bahwa, sampel air tambak yang terserang penyakit berak putih menunjukan adanya infeksi bakteri vibrio. Analisa total bakteri dan total vibrio di media pemeliharaan menunjukkan peningkatan dominasi bakteri vibrio sp  antara 12 - 22,5% dari nilai total bakteri. Beberapa studi menunjukkan bahwa kandungan bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan udang yang sehat kurang dari 10% dari kandungan total bakteri.
  Peningkatan dominasi bakteri vibrio sp pada media pemeliharaan diduga karena peningkatan kandungan bahan organik akibat kelebihan pakan, kotoran udang, plankton flok bakteri yang tidak dapat terdegradasi dengan sempurna. Pengelolaan lingkungan tambak udang seharusnya mampu meminimalisir sisa pakan dan kotoran udang yang ada dengan pengaturan manajemen pakan dan air dengan baik.
Dari hasil pengamatan secara langsung pada beberapa tambak yang terserang penyakit berak putih, serangan penyakit banyak terjadi pada umur pemeliharaan setelah 45 hari. Penerapan teknologi budidaya saat ini melalui pergantian air yang sedikit (penambahan hanya untuk mempertahankan ketinggian air) diduga menyebabkan peningkatan bahan organik dari sisa pakan dan kotoran dari udang dalam tambak. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa  peningkatan bahan organik  menyebabkan peningkatan populasi kepadatan bakteri vibrio. 
Tabel 3. Analisa total vibrio pada udang vaname
NO
Parameter Pengamatan
Total Vibrio
Total BAL
Keterangan
(CFU/ml)
(CFU/ml)
1
Tambak F4:
Udang sakit
-     Hepatopankreas
TNTC
-
-     Usus
3,9 x 104
7,9 x 103
-     Haemolimp
3,0 x 102
-
2
Tambak F6: 
Udang sakit
-     Hepatopankreas
TNTC
-
-     Usus
1,4 x 105
3,2 x 103
-     Haemolimp
7,1 x 102
-
3
Tambak Supra: 
Udang sehat/normal
-     Hepatopankreas
4,3 x 104
-
-     Usus
TNTC
3,9 x103
-     Haemolimp
0
-
                Sumber: Lab MKHA BBPBAP Jepara
Berdasarkan hasil identifikasi bakteri yang ditemukan pada hepatopankreas, usus dan hemolimp udang yang terserang penyakit berak putih adalah jenis Vibrio alginolitycus, V. parahaemolyticus dan V. vulnificus yang merupakan bagian dari bakteri yang ditemukan dalam kasus penyakit berak putih. Sebagai pembanding, analisa untuk udang yang sehat tidak menunjukan adanya kandungan bakteri vibrio pada hemolimp udang (Tabel 3). Masuknya bakteri dalam hemolimp, bisa mengindikasikan kondisi stress pada udang (Lightner, 1988) bahkan dapat menyebabkan septicemia (Lightner, 1977). Infeksi bakteri tersebut hingga masuk dalam hemolimp memang belum bisa dijelaskan dengan detail. Namun demikian diduga infeksi bakteri patogen vibrio terjadi pada saat dominasi yang tinggi di lingkungan dan masuk melalui makanan yang dikonsumsi pada media. Dalam kasus penyakit berak putih, udang dengan infeksi berat (> 100 gregarin dalam 1 cm midgut usus) diduga dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa usus (lapisan usus yang mampu menyerap nutrisi) sehingga menyebabkan bakteri patogen vibrio masuk ke dalam hemolimp dan bersifat mematikan.
3.1.2. Kualitas air
Hasil studi pengamatan di beberapa tambak yang terserang  penyakit berak putih sering terjadi pada air tambak yang warna airnya cenderung hijau pekat atau hijau gelap atau kadang-kadang terjadi pada warna air tambak yang berwarna coklat. Serangan penyakit berak putih juga sering terjadi pada kondisi air tambak yang berubah secara drastis atau mendadak dari warna hijau ke coklat atau sebaliknya. Berdasarkan fenomena warna air tambak yang hijau menunjukkan bahwa air tambak didominasi oleh plankton, terutama plankton dari jenis Chloropiceae. Perubahan warna air dari hijau cerah menjadi hijau gelap bahkan ke arah biru menunjukkan pergeseran dominasi oleh blue green algae (alga hijau-biru).
Perubahan warna air pada tambak udang diduga menunjukkan perubahan dominasi partikel terlarut dalam air.  Perubahan  warna air secara mendadak/drastis menunjukkan indikasi terjadinya kematian plankton dalam jumlah besar yang diikuti suksesi atau pertumbuhan plankton lain yang bisa mendominasi.  Kematian plankton ini diduga sebagai penyebab utama perubahan kualitas air. Perombakan atau degradasi plankton yang mati pada kondisi kelarutan oksigen rendah akan   menyebabkan kualitas air menurun. 
Densitas plankton yang tinggi pada perairan menyebabkan laju proses fotosintesa yang meningkat pada siang hari. Sebagai dampak proses fotosintesa yang besar menyebabkan nilai pH air naik terutama pada siang hingga sore dengan cuaca yang cerah hingga mencapai nilai 9.  Pada nilai pH yang tinggi mencapai lebih dari 9 menyebabkan ion ammonium berubah menjadi ammonia yang dapat menyebabkan keracunan pada udang. 
3.2.    Pencegahan Penyakit Berak Putih
Berdasarkan  fenomena terjadinya serangan penyakit berak putih, dari hasil studi ekplorasi dari beberapa lokasi tambak, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan teknik sebagai berikut:

3.2.1.   Pengelolaan Kemelimpahan Plankton.
Kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan udang akan baik bila dipelihara pada lingkungan yang stabil sesuai dengan kebutuhan biologis udang. Kestabilan parameter kualitas air tambak dengan fluktuasi yang rendah, menyebabkan udang dapat hidup nyaman dan sehat. Oleh karena itu perlu manajemen pengelolaan lingkungan terutama media air tambak untuk mengendalikan kualitas yang sesuai diperlukan udang dan mencegah terjadinya fluktuasi yang luas atau besar.
            Penumbuhan plankton pada air tambak diarahkan untuk dominasi Chloropiceae dan diatom. Pengamatan secara visual dominasi Chloropiceae pada air tambak terlihat warna hijau kecoklatan (Gambar 2).  Untuk dapat mempertahankan plankton dominasi Chloropiceae dapat dilakukan dengan mengatur perbandingan N:P rasio.  Phytoplankton  membutuhkan  rasio  N : P = 106 : 16 : 1 (Redfield,  1934).   Spesifik untuk pertumbuhan diatom mempunyai rasio   C:Si:N:P = 106:15:16:1. Secara spesifik dominasi pertumbuhan plankton ditentukan oleh keseimbangan N:P rasio sebagai berikut:
      N/P = 8   kondusif bagi bluegreen algae (cyanobacteria) 
      N/P = 10  kondusif bagi plankton coklat (diatomae) 
      N/P = 12  kondusif bagi dinoflagellata 
      N/P = 20-30  kondusif bagi plankton hijau (chlorella)
            Dominasi plankton dari jenis bluegreen algae, dapat dilakukan dengan mengatur kesimbangan N:P rasio lebih besar dari 10.  Nitrogen diukur dengan menghitung Total Amonia Nitrogen (TAN). Sedangkan posfat dihitung dalam bentuk orto fosfat (PO4). Fosfat merupakan faktor pembatas dari pertumbuhan plankton. Kandungan posfat dalam perairan agar plankton tumbuh adalah minimal 0,25 ppm. Dari konsep tersebut untuk menumbuhkan plankton selain bluegreen algae, maka perlu aplikasi pupuk ammonium dan posfat dengan N:P rasio lebih dari 10.  Pupuk TSP dengan kandungan 36% diperlukan minimal 7 kg/ha (0,7 ppm), sementara pupuk ammonium dengan kandungan 46 %  diperlukan minimal 54 kg/ha (5,4 ppm).
           



Gambar 2. Warna air hijau kecoklatan (semi-flok)
Menurut (Avnimelech dan Ritvo, 2003), ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan berkisar 5-40%. Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan 16 % fosfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan fosfor (80%) terakumulasi di dasar tambak. Dengan semakin bertambahnya umur pemeliharaan, semakin meningkat bobot rataan udang, meningkat pula jumlah penggunaan pakan udang. Sebagai dampaknya adalah juga semakin meningkat pula nitrogen dan fosfat dalam air tambak, sehingga dapat merubah keseimbangan N:P rasio. Perubahan kesimbangan N:P rasio dalam air tambak tersebut dapat merubah kesimbangan dominasi plankton. 
Akumulasi nitrogen dan fosfat dari pemberian pakan udang menyebabkan peningkatan kesuburan sehingga pertumbuhan plankton pesat serta kemelimpahan plankton yang tinggi.  Dari hasil kajian tambak yang dilapisi (lining) dengan plastik HDPE, sehingga faktor kesuburan tanah dapat diabaikan, peningkatan fosfat (PO4) meningkat hingga mencapai 0,25 ppm setelah pemberian pakan mencapai sekitar 1.500 kg/Ha (kandungan protein pakan 36%). Secara visual dengan melihat warna dan tingkat kecerahan air, pertumbuhan plankton akan mulai subur setelah pemeliharaan 25 hari. Kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyuburan air tambak dari dampak pemberian pakan (Tabel 4).
Penggunaan pupuk perlu dihitung agar tidak terjadi keseimbangan N:P rasio yang rendah yang dapat menyebabkan pergeseran dominasi plankton ke arah bluegreen algae. Penambahan pupuk ammonium perlu ditambahkan untuk meningkatkan kesimbangan N:P rasio dengan dosis 2-5 ppm sehingga warna air menjadi hijau kecoklatan. Namun demikian perlu mempertahankan kemelimpahan plankton agar tidak terjadi blooming plankton pada kisaran kecerahan sekitar 30-40 cm.
Tabel 4. Kemelimpahan plankton pada tambak lining (HDPE)

Dampak lain dari pertumbuhan plankton, dapat menyebabkan fluktuasi nilai pH harian yang luas dan cenderung pada nilai pH yang tinggi. Dominasi plankton dalam air tambak, nilai pH air bisa menjadi mencapai nilai 9 pada sore hari dengan fluktuasi antara pagi dan sore mencapai nilai 1. Pada nilai pH yang tinggi pada sore hari dan bila tidak didukung aerasi yang baik bisa menyebabkan pembentukan ammonia yang bersifat racun pada udang serta udang sulit ganti kulit. Kondisi ini bisa menyebabkan ketahanan tubuh udang lemah sehingga mudah terserang penyakit. Masalah lain adalah pada kondisi kemelimpahan plankton yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan respirasi pada malam hari sehingga dapat menyebabkan defisit oksigen.
3.2.2.   Pengelolaan Probiotik
Budidaya udang vaname saat ini yang telah berkembang adalah budidaya sistem heterotrof dengan aplikasi konsorsium bakteri probiotik dengan tujuan untuk merombak bahan organik sisa pakan dan kotoran udang menjadi flok bakteri. Dengan cara ini dapat mencegah pembentukan senyawa ammonia dan nitrit.  Pertumbuhan bakteri dalam media air akan ditentukan keseimbangan C/N rasio sebagai berikut:
1.        Nilai C/N = 5 – 10 akan kondusif bagi plankton dan bakteri hemoautotroph, tetapi kurang kondusif bagi bakteri heterotroph. Air tambak dengan kondisi keseimbangan C/N rasio yang rendah secara visual terlihat warna kehijauan. Sebagai dampak pertumbuhan plankton akan subur adalah nilai pH air cenderung tinggi dengan fluktuasi yang luas. Fluktuasi pH harian pagi dan sore  yang ideal adalah 0,2-0,5.
2.        Nilai C/N = 10–20 akan kodusif bagi plankton, bakteri chemoautotroph dan bakteri heterotroph. Konsorsium bakteri pengurai dan plankton dapat tumbuh secara seimbang. Air tambak berwarna hijau kecoklatan karena terjadi keseimbangan plankton dan flok bakteri yang terbentuk. Pada keseimbangan ini nilai pH air dapat diatur pada kisaran 7,5 - 8 dengan fluktuasi harian 0,2-0,5.
3.        Nilai C/N = > 20 akan  kondusif  bagi bakteri heterotroph, tetapi kurang kondusif bagi plankton dan bakteri chemoautotroph. Pertumbuhan bakteri terutama bakteri fermentasi yang akan mendegradasi karbon akan mendominasi. Secara visual air tambak berwarna kecoklatan.  Dampak dari dominasi bakteri probiotik akan menyebabkan nilai pH air menjadi cenderung rendah (kurang dari 7,5)

Kestabilan kualitas air tambak sangat ditentukan oleh keseimbangan unsur biotik dan abiotik dalam media air. Unsur biotik sangat ditentukan oleh keseimbangan kelimpahan plankton dan mikroorganime (bakteri). Untuk menjaga kestabilan kualitas air tambak, pengelolaan air diarahkan pada teknologi semi heterotrof atau semi flok. Bakteri probiotik berfungsi untuk mempercepat penguraian bahan organik dari sisa pakan, kotoran udang dan plankton yang mati. Pada kondisi aerob dengan kelarutan oksigen yang tinggi, hasil penguraian dari bahan organik tersebut akan menghasilkan senyawa hara (senyawa an-organik) yang dapat diserap oleh plankton untuk pertumbuhan. Beberapa jenis plankton dapat menyerap unsur hara dalam bentuk ammonia, dan nitrit sehingga dapat mencegah peningkatan senyawa tersebut yang dapat meracuni udang. Pada konsep ini peranan aerasi juga sangat penting sebagai penyedia oksigen terlarut, membuat partikel tetap terlarut dalam kolom air serta untuk mengatur sirkulasi air merata dalam petak tambak.



Gambar 3.  Konsep pengelolaan air tambak udang sistem semi flok

Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase), reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan, selanjutnya bisa digantikan dengan karbohidrat kompleks (tepung tapioka, terigu, dll). Jumlah atau dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air sebagai indikator adalah nilia pH air.
Nilai pH air tambak udang dipertahankan pada kisaran 7,5-8. Aplikasi jumlah karbon yang terlalu banyak akan menyebabkan proses fermentasi yang meningkat sehingga dapat menyebabkan nilai pH menurun hingga kurang dari 7,5.  Cara yang dilakukan adalah dengan menaikan pH air dengan aplikasi kaptan dengan dosis 5 ppm setiap hari hingga nilai pH mencapai 7,5.
Sebaliknya bila jumlah aplikasi sumber karbon kurang, menyebabkan dominasi plankton dan nilai pH naik hingga lebih dari 8. Cara untuk menurunkan nilai pH dengan aplikasi sumber karbon (molase) dosis 1-5 % dari total pakan setiap hari hingga nilai pH mencapai 8.

3.3.        3.3 Aplikasi Antibiotik Alami
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan antibiotik alami berupa ekstrak bawang putih. Bawang putih mengandung antibiotik alisin yang mampu mengendalikan bakteri gram positif maupun gram negatif. Secara komersial ekstrak bawang putih sudah beredar dalam bentuk tepung.
Aplikasi ekstrak bawang putih sebaiknya dilakukan mulai dari awal pemeliharaan. Dosis yang dilakukan adalah 3-5 g/kg pakan udang atau 10-20 gr/kg pakan untuk ekstrak segar pemberian selama 5 minggu berturut-turut mampu menurunkan jumlah gregarin dari mid gut usus udang windu (Chutchawanchaipan et al. 2004). Pemberian dilakukan setiap hari dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih pada pakan kemudian dikering anginkan selama ½ jam. Pakan selanjutnya diberikan pada udang terutama pada waktu laju komsumsi pakan tinggi yang biasanya terjadi pada siang dan sore hari.
Berdasarkan cara makan udang, yaitu dengan mengkerikiti pakan, diduga tidak semua antibiotik yang ditempelkan (coating) akan dapat masuk dalam tubuh udang. Namun demikian dengan cara tersebut dapat meningkatkan ketahanan tubuh udang. Dari beberapa kajian dengan cara ini dapat mencegah serangan berak putih.

3.4.        3.4 Pengkayaan Pakan dengan Feed Additive
Cara lain untuk pencegahan penyakit pada udang vaname adalah dengan meningkatkan ketahanan tubuh udang dengan penambahan feed additive yang mengandung multivitamin. Beberapa feed additive produk komersial telah membuat formula agar feed additive yang diperkaya pada pakan buatan dapat masuk dalam tubuh udang.
Pada awalnya feed additive komersial dalam bentuk tepung (powder), teknik aplikasi dengan menggunakan perekat (binder) pada pakan udang. Seperti halnya pengunaan antibiotik di atas karena cara makan udang yang dikerikiti, diduga banyak feed additive yang larut dalam air tambak. Untuk meningkatkan daya serap yang lebih tinggi dalam tubuh udang, beberapa feed additive komersial di kemas dalam bentuk minyak (cair). Mineral feed additive dilapisi dengan minyak (oil base) sehingga tidak mudah larut dalam air. 
Cara aplikasi dengan mencampur dengan pakan sehingga dapat menempel pada pori-pori pakan. Selanjutnya pakan dikering anginkan selam ½ jam, setelah pakan kering diberikan pada  udang. Dosis feed additive adalah 5-10 cc/kg pakan. Pemberian diberikan tiap hari dengan sekali frekuensi pemberian pada saat laju komsumsi pakan meningkat (pada siang hingga sore hari).
Dengan cara pemberian pakan tersebut menunjukkan hasil yang lebih baik untuk pegobatan pemyakit kotoran putih. Hal ini di tunjukkan mulai berkurangnya kotoran yang mengambang dan udang mulai normal walaupun laju pertumbuhan rendah. Secara visual kotoran putih mulai berkurang setelah 2-3 hari perlakuan  (petak F4). Kondisi ini diikuti laju konsumsi pakan juga mulai meningkat.

IV.          Kesimpulan
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi ekplorasi dari beberapa kawasan tambak, dengan manajemen budidaya udang yang baik pencegahan serangan penyakit berak putih dapat dilakukan dengan cara:
1.            Tindakan pengendalian melalui perbaikan lingkungan, pengkayaan dengan ekstrat bawang putih melalui pakan dengan teknik pemberian pakan yang baik mampu menekan kematian sehingga dihasilkan produksi dengan SR> 70% dan pertumbuhan harian > 0,11 g/hari.
2.            Pengelolaan lingkungan terutama media air tambak udang diarahkan pada teknik semi flok yaitu mengatur kesimbangan dominasi plankton dan bakteri probiotik dengan mengatur pH 7,5-8. Serta keseimbangan rasio N:P 16-20; dan rasio C:N 10-20
3.            Aplikasi probiotik sesuai dengan fungsinya; terutama keberadaan Bacillus yang mampu menekan bakteri vibrio
4.2 Saran

            Perlu dilakukan kajian lanjutan pengendalian serangan kotoran putih untuk meningkatkan produktivitas dan produksi udang

Komentar

  1. Metoda ekplorasi dilakukan dengan mengamati kualitas air meliputi kandungan bahan organik (TOM); total bakteri dan vibrio;
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus
  2. Saga Pro Vit untuk Percepatan Pertumbuhan
    dan Mengatasi Penyakit Berak Putih Udang
    Delta Agro
    https://deltaagroorganik.com/saga-pro-vit-solusi-penyakit-berak-putih-udang/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara mengetahui berapa estimasi udang di tambak

Menghitung SR dan FCR Udang Vaname saat Kegiatan Produksi

Plankton, Lumut, Klekap dalam budidaya udang